Rabu, 12 September 2012

0 Drama Penyelamatan Budak Seks Di Siang Bolong

Perempuan muda berwajah kuyu itu tak kuasa menahan letupan emosinya. Sebelum bus yang membawanya merapat dengan sempurna di halaman Markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, tangisnya sudah meledak. "Papah, ieu abdi... (Papah, ini saya - Red.)," teriaknya dari balik jendela bus, ke arah seorang lelaki separuh baya yang berdiri di halaman Polda.


Begitu pintu bus terbuka, perempuan muda bekas guru sebuah madrasah itu, namanya sebut saja Rina, 21 tahun, langsung menghambur memeluk sang ayah. Dan tangis Rina pun makin menjadi-jadi di pelukan ayahnya -seorang guru SMP di Ciamis, Jawa Barat- yang berlinang air mata. "Hapunten abdi, Papah. Abdi jadi kieu, hapunten... (Maafkan saya, Papah. Saya jadi begini, maafkan -Red.)," ujarnya, lirih.



Pemandangan menyentuh kalbu di Senin pagi pekan lalu itu tidak hanya dipertontonkan Rina dan bapaknya, melainkan juga oleh 112 cewek belia lainnya bersama keluarga masing-masing. Mereka berebutan keluar dari tiga bus yang membawa mereka, termasuk bus yang ditumpangi Rina, menghambur ke keluarga masing-masing yang berbaris menjemput. Tak pelak, jerit tangis, puji syukur, dan ratap pilu membahana di halaman Polda. Suasana sungguh dicekam haru. Beberapa anggota polisi tampak ikut trenyuh.

Tidak mengherankan jika semuanya larut dalam keharuan. Para cewek belia tersebut -sebagian besar berusia belasan tahun- bukanlah baru pulang dari piknik ataupun studi banding. Mereka juga bukan tenaga kerja wanita yang baru balik dari negeri jiran. Mereka adalah para budak seks -tiga di antaranya hamil- yang baru diselamatkan petugas Polda Jawa Barat, setelah sekian bulan terjebak di sarang pelacuran di Tanjung Balai Karimun, Riau. Polisi menduga, para gadis itu merupakan korban sindikat perdagangan wanita dan cewek ABG (anak baru gede).

Rina, misalnya, mengaku sudah empat bulan dipaksa menjadi budak seks di sarang pelacuran berkedok diskotek, Golden Million. Ia stres, sehingga wajahnya yang segar berubah menjadi kuyu. "Tadinya saya dijanjikan kerja di salon di Batam. Tak tahunya, saya dipaksa melacur di Tanjung Balai," kata Rina, getir. Simak pula pengalaman pahit Rani (nama samaran), lulusan SMU berusia 18 tahun. Rani mengaku dua bulan dijadikan budak seks, juga di Diskotek Golden Million, milik Kioe Moi alias Merry, wanita berusia 42 tahun yang disebut-sebut sebagai germo paling beken di Tanjung Balai. "Saya tidak tahan, sudah lama ingin kabur, tapi tidak berani. Untunglah, polisi menyelamatkan kami," kata Rani.

Yang menarik, dan mungkin jarang terjadi, upaya penyelamatan para budak seks itu bukan lewat razia rutin, apalagi operasi biasa. Melainkan melalui operasi khusus dengan nama sandi Operasi Kemanusiaan. Menurut Mayor Jenderal Chairuddin Ismail, Kepala Polda Jawa Barat, pihaknya memandang perlu membentuk tim operasi tersebut guna menyelamatkan para pekerja seks di Tanjung Balai, khususnya yang berasal dari wilayah Jawa Barat. "Dalam operasi, kita melakukan koordinasi dengan Polda Riau," kata Chairuddin Ismail kepada Gatra.

Mirip dengan lakon film laga tentang pembebasan sandera, ihwal dibentuknya tim operasi penyelamatan itu bermula dari pelarian 13 ABG asal Jawa Barat dari tempat penampungannya di Salon Lucky Seven di kawasan Puakang, akhir Agustus silam. Dengan cara mengendap-endap, pagi itu mereka cabut selagi "mami" mereka masih pulas. "Kami dijanjikan kerja sebagai pelayan di bar dan restoran. Tapi sampai di Karimun kami disuruh jadi wanita tunasusila," kata Ida (namasamaran), 16 tahun.

Semula, dengan naik becak, Ida dan teman-temannya hendak langsung ke pelabuhan feri, tapi urung. Maklum, pelabuhan itu, yang merupakan satu-satunya jalan keluar, selalu dijaga para tukang kepruk dari pelbagai tempat hiburan di situ. Lantas, ke- 13 ABG yang baru tiba beberapa hari dari Jawa Barat itu berinisiatif meminta perlindungan ke Kantor Kepolisian Sektor (Polsek), 50
meter dari pelabuhan.

Oleh petugas polisi, yang ternyata baik hati, mereka diantar ke Dumai, Riau, dan disuruh melanjutkan perjalanan dengan bus ke Bandung. Setiba mereka di Bandung, kisah pilu mereka dimuat di harian lokal Gala, edisi 7 September. Polda Jawa Barat agaknya cukup sigap merespons berita tersebut, dan mulai melakukan penyelidikan. Para ABG itu dimintai keterangan.

Tak makan waktu lama, polisi mengantongi nama Prajurit Satu Fernando Sebayang, oknum prajurit di sebuah kesatuan di Bandung, serta mitranya bernama Frans Felix Hutagalung, seorang wiraswastawan. Menurut polisi, keduanya adalah agen atau penghubung di Bandung, yang berhubungan langsung dengan para germo di Tanjung Balai. "Mereka punya kaki tangan yang langsung mencari mangsa. Tapi tidak jarang mereka juga berperan langsung mencari mangsa," kata Kolonel Makbul Padmanagara, Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Barat.

Polisi menciduk pasangan suami-istri Egi dan Iis, yang diduga sebagai calo. Menurut polisi, keduanya adalah anak buah Frans yang bertugas door to door menjaring cewek-cewek calon mangsa. Pada 9 September, polisi menangkap Tong Meng alias Ameng, 30 tahun, pemilik Lucky Seven. Ameng, yang sengaja dipancing ke Bandung, dicokok di Bandara Husein Sastranegara.

Dari keterangan para tersangka dan 13 ABG itu, polisi menyimpulkan bahwa banyak lagi cewek asal Jawa Barat yang disekap dan dipekerjakan sebagai budak seks di Tanjung Balai. Tim Operasi Kemanusiaan pun dibentuk, dan sebagai komandannya ditunjuk Letnan Kolonel Wahyu Siswaya, Kepala Bagian Reserse Umum.

Tim ini punya dua target operasi. Pertama, menyelamatkan sebanyak mungkin gadis asal Jawa Barat yang tertipu dan dijadikan budak seks di Tanjung Balai. Kedua, menangkap empat tersangka otak sindikat pelacuran itu, yakni Merry dan Wati (pengelola Golden Million), Nelson Surbakti (pengelola permukiman Villa Garden), dan Hendrik (pengelola Lucky Seven).

Tim berjumlah enam polisi ini segera bertolak dari Bandung, dan tiba di Batam pukul 18.00. Mereka melakukan koordinasi dengan Kepala Polres Batam, Letnan Kolonel Yose Rizal. Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda Riau, Mayor S. Pandiangan, penggerebekan dilakukan Polda Jawa Barat karena penipuan terhadap para gadis itu dilakukan di Jawa Barat. "Penggerebekan itu kita dukung," kata Pandiangan.

Besok paginya, tim operasi ini bergerak ke Tanjung Balai, menempuh dua jam perjalanan dengan speed boat dari Pelabuhan Sekupang, Batam. Mereka menuju Polsek Tanjung Balai yang dijadikan sebagai markas operasi. Di situ telah berkumpul sejumlah petugas keamanan dan pejabat dari kecamatan, yang kelihatan antusias mendukung tim tersebut.

Operasi pun digelar pukul 12.00, setelah melakukan observasi lapangan terhadap ketiga tempat hiburan yang letaknya tidak terlalu berjauhan tersebut. Tim yang diperkuat petugas Polsek berpakaian dinas, sehingga semuanya berjumlah 21 orang, itu dipecah menjadi tiga. Tim pertama yang dipimpin Letnan Kolonel Wahyu Siswaya bergerak ke Golden Million, diskotek terbesar di sana,
yang diperkirakan memeram 200-an pekerja seks -di sana terdapat belasan tempat hiburan yang mempekerjakan 2.000-an pramusyahwat. Tim kedua yang dipimpin Letnan Satu Zul Asmi berangkat ke Lucky Seven. Sedangkan tim ketiga yang dipimpin Kapten Muklis menuju Villa Garden. Ketiga tim ini di-back-up sejumlah petugas keamanan.

Waktu siang bolong ini sengaja dipilih dengan pertimbangan bahwa tamu belum terlalu banyak. Para tamu biasanya datang lebih sore atau malam hari. Tim bergerak menuju target operasi dengan menggunakan Toyota Kijang dan Isuzu Panther. Khusus tim yang ke Golden Million dibekali dengan tujuh Toyota Kijang. Tim ini sudah memperhitungkan, akan menyelamatkan paling banyak cewek.

Toh, setiba di Golden Million, tim ini tak urung kaget juga. "Busyet, cewek-ceweknya banyak banget," kata seorang anggota tim. Para cewek itu dipajang di ruang pamer dari kaca, mirip akuarium raksasa yang memanjang. Mereka duduk di atas bangku panjang yang dilapisi dengan karpet. Siang itu, ruangan pengap yang hanya disejukkan dengan kipas angin di plafon tersebut berisi 175 cewek yang siap menerima tamu. Para cewek itu diberi nomor dada, untuk memudahkan tamu memilih. Sejumlah mami berjaga-jaga di situ.

Seorang mami dan papi di situ dengan ramah menemui Wahyu, yang mereka kira sebagai lelaki iseng. Tanpa buang waktu, Wahyu segera menyampaikan maksud kedatangannya seraya menunjukkan surat tugas. Mami dan papi itu mundur ketakutan, dan menyebutkan bahwa Merry dan Wati sedang ke Jakarta. Seorang encim, kabarnya ibu Merry, mencoba menghalangi Wahyu dan anak buahnya. "Anak-anak ini tidak boleh dibawa pulang. Mereka punya utang pada kami," teriak perempuan gaek tersebut.

Wahyu mengatakan, urusan utang diselesaikan di kantor polisi saja. Ia kemudian menuju ruang kaca. "Saudara-saudara, saya adalah petugas polisi yang sedang melakukan Operasi Kemanusiaan. Bagi Saudara-saudara yang merasa tertipu, yang merasa pekerjaan ini bertentangan dengan hati nurani, mari ikut pulang dengan saya," kata Wahyu, lantang.

Suasana di diskotek itu kontan riuh. Para cewek di ruang kaca itu berteriak-teriak histeris. "Kita pulang, kita pulang," teriak mereka. Ada yang berjingkrak kegirangan, ada pula yang menangis meraung-raung. Tapi tidak sedikit yang terpaku di tempat, seakan tidak percaya akan apa yang terjadi. Puluhan gadis yang berdandan dan berpakaian seronok itu lantas menyerbu Wahyu, memelukinya sambil merengek, "Saya ikut pulang. Saya mau pulang." Wahyu sempat gelagapan. Sementara itu, anggota timnya bersiaga, kalau-kalau ada yang melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.

Lalu sekitar 175 pekerja seks diminta menjadi dua kelompok. Yang mau ikut pulang ke Jawa Barat diminta berkumpul di sebelah kanan. Sedangkan yang masih betah di sebelah kiri. Cewek di bawah umur tetap akan diboyong, tak peduli masih betah atau tidak. Tercatat, 107 cewek berdiri di kelompok kanan. Tapi cewek-cewek yang di kelompok kiri bukannya tak mau pulang, melainkan lantaran bukan berasal dari Jawa Barat. Cewek-cewek ini sempat protes. "Mana polisi Medan, kami juga mau pulang," teriak mereka yang berasal dari Medan.

Sementara itu, tim kedua dan ketiga juga telah menyelesaikan tugasnya. Hasilnya, cuma memboyong seorang gadis dari Villa Garden. Dari Lucky Seven, polisi tidak memperoleh apa-apa karena tempat itu sudah kosong. Semua cewek hasil operasi penyelamatan itu diboyong ke Polsek, sebelum dibawa ke Bandung. Jumlah cewek yang dikumpulkan di Polsek menjadi 115 orang - tujuh di antaranya hasil penggerebekan di hotel-hotel, termasuk di Hotel Marina, juga milik Merry.

Selama istirahat di Polsek, sejumlah tamu, diduga orang-orang Golden Million, silih berganti membesuk para cewek tersebut, sekalian membujuk agar tak pulang ke Jawa Barat. Dua di antara cewek itu bisa dibujuk. Sementara itu, Wahyu sempat menerima telepon dari seseorang yang mengaku berpangkat mayor jenderal. "Orang itu memprotes penggerebekan dan penjemputan ini. Tapi saya tidak gentar," kata Wahyu.

Besok paginya, para cewek itu diboyong ke Bandung, dilepas Letnan Kolonel Yose Rizal. Meski tidak ada upacara resmi, suasana pelepasan itu cukup ramai. Puluhan penduduk bergerombol menyaksikan pemberangkatan mereka -menggunakan speed boat, disambung dengan tiga bus- ke Bandung. Beberapa pemuda malah berteriak menggoda: "Sudah, sana pulang, sekolah sajalah. Kenapa cari susah di sini."

Berita penggerebekan sekaligus penyelamatan pekerja seks di Golden Million ini sempat menghebohkan Tanjung Balai dan Batam, bahkan Pekanbaru. Maklum, pemilik tempat hiburan itu, Merry, selama ini dikenal berangasan. Cina Medan itu malah disebut- sebut punya beking kuat. Beberapa kali ia berurusan dengan polisi lantaran tuduhan mempekerjapaksakan perempuan sebagai pelacur. Namun, ia masih saja berlenggang kangkung. Usaha prostitusinya malah kian berkembang.

Itulah sebabnya, ketika tim Operasi Kemanusiaan yang dikirim Polda Jawa Barat meraih sukses tanpa kesulitan sama sekali, banyak pihak terkejut. Mereka umumnya takjub karena operasi itu berjalan lancar, tanpa aksi kekerasan, apalagi sampai diwarnai dengan dar-der-dor. "Syukurlah, polisi akhirnya berani juga bertindak. Saya salut dengan operasi yang dilancarkan Polda Jawa Barat tersebut," kata Bustami, pemuka masyarakat Tanjung Balai Karimun. Bustami berharap, kalaupun pelacuran di situ tidak bisa ditekan, setidaknya unsur pemaksaan dan penyekapan wanita bisa dikurangi.

Wakil Gubernur Riau, Rustam S. Abrus, setuju dengan Operasi Kemanusiaan Polda Jawa Barat tersebut. "Saya sangat mendukung tindakan Polda Jawa Barat dan Polda Riau itu. Tindakan pemaksaan (terhadap para cewek itu) untuk menjadi pelayan seks merupakan perbuatan sangat tidak terpuji. Perlu dicegah oleh semua pihak," kata Rustam S. Abrus kepada Fendri Jaswir dari Gatra.

Kalau disimak hasil penyelidikan dan penyidikan pihak Polda Jawa Barat, sistem kerja di Golden Million yang ditimpakan kepada para cewek apes itu memang tidak manusiawi, sewenang- wenang, penuh tipu daya. "Sejak awal perekrutan, para perempuan itu sudah dikecoh secara licik," kata Makbul Padmanagara.

Menurut Makbul, dalam merekrut mangsa, kaki tangan (calo dan koordinator) Golden Million menggunakan tiga cara. Pertama, memasang iklan di koran lokal, bahwa dibutuhkan sejumlah perempuan untuk dipekerjakan di restoran dan tempat hiburan karaoke di Batam. Tak lupa, mereka diiming-imingi gaji tinggi. Cara kedua, datang langsung ke tempat-tempat mangkal gadis belia. Dan cara ketiga, dengan door to door berdasarkan informasi dari mulut ke mulut. Cara-cara itu terbukti efektif. Para calon korban itu dengan mudah terkecoh.

Untuk setiap "barang" alias cewek yang berhasil dibawa, si calo mendapat imbalan Rp 600.000 sampai Rp 900.000 dari koordinator perekrutan atau kaki tangan langsung Golden Million. Besar imbalan ini tergantung kecantikan si cewek. Bonus tambahan, beberapa ratus ribu rupiah, akan diberikan bila si perempuan itu masih perawan tulen. Dari Golden Million, koordinator itu akan memetik keuntungan rata-rata Rp 600.000 per cewek. "Kepada cewek itu saya bilang terus terang bahwa pekerjaan mereka melayani tamu lelaki. Saya tahu dan tidak peduli, apakah ia tadinya dibohongi calo atau tidak," kata Ameng kepada Gatra.

Oleh Golden Million, semua biaya tebusan itu, berikut ongkos di perjalanan dan tiket ke Batam, dibebankan kepada si cewek. Setiba di Golden Million, mereka biasanya langsung kaget ketika disodori bon utang. Besarnya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Si cewek pun diikat dengan kontrak kerja, yang berlaku selama empat bulan. Dalam kontrak itu antara lain disebutkan, setelah bekerja
empat bulan, dan mampu melunasi utangnya, pekerja boleh pulang atau memperpanjang kontrak kerja.

Apa boleh buat, untuk biaya hidup sehari-hari dan melunasi utangnya, di samping lantaran takut dihajar tukang pukul majikan barunya, terpaksalah para ABG ini menerima pekerjaan nista tersebut. Setiap kali melayani tamu -umumnya lelaki Cina tua dari Singapura dan Malaysia- teorinya si cewek mendapat bagian Rp 70.000 dari Rp 150.000 yang dibayarkan tamu kepada Golden Million.

Logikanya, mengingat bisa melayani lebih dari satu tamu sehari, kemungkinan mereka bisa mengumpulkan uang guna melunasi utang. Kenyataannya, para perempuan muda itu akan terus terikat kontrak kerja lantaran sengaja dibikin tak mampu membayar utang. Soalnya, bagian si cewek itu bukan diberikan secara tunai, melainkan berwujud kupon yang tak jelas kapan bisa dicairkan.

Kalau si cewek kelihatan cukup lihai merayu tamunya dan memperoleh tip cukup besar, biasanya dia akan diistirahatkan dulu. Akibatnya, si cewek akan terus kekurangan uang, dan terpaksa mengutang pada Golden Million. "Sampai sekarang, saya dinyatakan (oleh Golden Million) masih punya utang, katanya sampai Rp 4 juta," ujar Rani.

Merry menolak dituduh bersikap licik. Mengenai sitem kupon, kata Merry, dimaksudkan agar para anak asuhnya itu dapat berhemat dan terkontrol penggunaan uangnya. Soal "mengistirahatkan" si cewek, lagi-lagi Merry membantah. "Saya tidak pernah membatasi mereka melayani tamu. Kalau itu saya lakukan, saya juga yang rugi, tidak dapat bagian," kata Merry kepada Gatra. Sejak penggerebekan itu, Merry yang masuk DPO (daftar pencarian orang) Polda Jawa Barat menutup sementara usahanya tersebut.

Yang tidak dibantah Merry adalah bahwa Golden Million menyediakan cewek paling banyak di antara usaha sejenis di Tanjung Balai Karimun, dan paling laris. Maklum, cewek-cewek yang diperam di situ rata-rata muda dan cantik. Tidak mengherankan, sebelum ini, saban hari puluhan tamu berkunjung ke Golden Million. Mereka dengan riang mem-booking para wanita belia itu, terutama yang masih bau kencur. "Mereka lebih menyukai yang muda banget. Katanya, kami tidak banyak tingkah," kata Ane, 15 tahun, bekas penghuni Golden Million.

Menurut pakar seksologi Boyke Dian Nugraha, fenomena disukainya gadis kencur oleh para lelaki bertumpu pada dua faktor utama. Pertama, adanya mitos soal awet muda. Kedua, di mata si lelaki, penampilan gadis kencur lebih segar, kulitnya lebih mulus dan kencang. Semua itu membuat mereka beranggapan bahwa para gadis ingusan tersebut lebih bersih dan menggairahkan.

Dan yang terpenting, menurut Boyke, para gadis muda itu umumnya tidak banyak mengeluh atau peduli bila om-om yang mengencaninya mengalami kelemahan seksual, ataupun berbuat macam-macam. "Para penggemar daun muda itu merasa lebih aman karena tidak mendapat celaan. Mereka senang karena merasa superioritasnya tidak terusik," kata Boyke, yang juga dokter ahli ginekologi, kepada Gatra.

Menurut Boyke pula, fenomena itu sudah terjadi sejak zaman dulu, dan akan terus berlangsung ke masa depan. Maka bukan hal mengejutkan bila pelacuran gadis kencur diam-diam cukup marak dan bersaing dengan pelacuran wanita dewasa. Di Medan saja, misalnya, menurut temuan Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) setempat, terdapat 600-700 anak berusia 12 tahun sampai 17
tahun yang terjerembap menjadi pelacur, umumnya dengan alasan ekonomi. Mereka rata-rata cukup eksis, dalam arti mampu bersaing (dengan pelacur dewasa) untuk mencari pelanggan.

LAAI Medan mensinyalir, pelacuran anak di kota-kota lain di Tanah Air tak kalah marak dengan di Medan. Kemampuan si anak menarik pelanggan membuat para calo dan sindikat pelacuran itu tak henti mengincar para gadis kencur untuk dieksploitasi sebagai tambang rupiah. Aksi eksploitasi ini sepertinya dipermulus oleh penerapan hukum yang lemah. Coba tengok, para pelakunya sering
cuma dihukum ringan, bahkan tidak jarang luput dari jerat hukum.

Sebut, misalnya, kasus germo beken Hartono "Prapanca" Setyawan, yang tahun lalu kepergok polisi mempekerjakan bocah ingusan di rumah bordilnya di Surabaya, kini seperti menguap begitu saja. Kasus Merry pun -tak mustahil- bakal bernasib serupa. Sampai pekan lalu, Merry masih bebas berkeliaran. Dan polisi sepertinya masih setengah hati menangkapnya.

LAAI Medan mensinyalir, pelacuran anak di kota-kota lain di Tanah Air tak kalah marak dengan di Medan. Kemampuan si anak menarik pelanggan membuat para calo dan sindikat pelacuran itu tak henti mengincar para gadis kencur untuk dieksploitasi sebagai tambang rupiah. Aksi eksploitasi ini sepertinya dipermulus oleh penerapan hukum yang lemah. Coba tengok, para pelakunya sering
cuma dihukum ringan, bahkan tidak jarang luput dari jerat hukum.

Sebut, misalnya, kasus germo beken Hartono "Prapanca" Setyawan, yang tahun lalu kepergok polisi mempekerjakan bocah ingusan di rumah bordilnya di Surabaya, kini seperti menguap begitu saja. Kasus Merry pun -tak mustahil- bakal bernasib serupa. Sampai pekan lalu, Merry masih bebas berkeliaran. Dan polisi sepertinya masih setengah hati menangkapnya.

Karena itulah, menurut aktivis perempuan, Nursyahbani Katjasungkana, terbongkarnya sindikat penjualan wanita dan gadis ABG di Tanjung Balai Karimun ini tidak usah terlalu diharapkan bakal meredam aksi sindikat-sindikat tersebut. "Penanganan dan sanksi hukumnya masih sangat lemah. Kalaupun tertangkap, mereka acap tidak diberi hukuman setimpal," kata Ketua Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan itu.
Mudah-mudahan, di era reformasi ini para penegak hukum bisa bersikap lebih tegas. [Taufik Alwie, Didi Prambadi, dan Taufik Abriansyah]  Sumber : Gatra(dot)com




0 komentar:

Posting Komentar

 

Artikel Menarik Mancanegara Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates