Perempuan muda berwajah kuyu itu tak kuasa menahan letupan emosinya.
Sebelum bus yang membawanya merapat dengan sempurna di halaman Markas
Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, tangisnya sudah meledak. "Papah,
ieu abdi... (Papah, ini saya - Red.)," teriaknya dari balik jendela bus,
ke arah seorang lelaki separuh baya yang berdiri di halaman Polda.
Begitu
pintu bus terbuka, perempuan muda bekas guru sebuah madrasah itu,
namanya sebut saja Rina, 21 tahun, langsung menghambur memeluk sang
ayah. Dan tangis Rina pun makin menjadi-jadi di pelukan ayahnya -seorang
guru SMP di Ciamis, Jawa Barat- yang berlinang air mata. "Hapunten
abdi, Papah. Abdi jadi kieu, hapunten... (Maafkan saya, Papah. Saya jadi
begini, maafkan -Red.)," ujarnya, lirih.
Pemandangan
menyentuh kalbu di Senin pagi pekan lalu itu tidak hanya dipertontonkan
Rina dan bapaknya, melainkan juga oleh 112 cewek belia lainnya bersama
keluarga masing-masing. Mereka berebutan keluar dari tiga bus yang
membawa mereka, termasuk bus yang ditumpangi Rina, menghambur ke
keluarga masing-masing yang berbaris menjemput. Tak pelak, jerit tangis,
puji syukur, dan ratap pilu membahana di halaman Polda. Suasana sungguh
dicekam haru. Beberapa anggota polisi tampak ikut trenyuh.
Tidak
mengherankan jika semuanya larut dalam keharuan. Para cewek belia
tersebut -sebagian besar berusia belasan tahun- bukanlah baru pulang
dari piknik ataupun studi banding. Mereka juga bukan tenaga kerja wanita
yang baru balik dari negeri jiran. Mereka adalah para budak seks -tiga
di antaranya hamil- yang baru diselamatkan petugas Polda Jawa Barat,
setelah sekian bulan terjebak di sarang pelacuran di Tanjung Balai
Karimun, Riau. Polisi menduga, para gadis itu merupakan korban sindikat
perdagangan wanita dan cewek ABG (anak baru gede).
Rina,
misalnya, mengaku sudah empat bulan dipaksa menjadi budak seks di
sarang pelacuran berkedok diskotek, Golden Million. Ia stres, sehingga
wajahnya yang segar berubah menjadi kuyu. "Tadinya saya dijanjikan kerja
di salon di Batam. Tak tahunya, saya dipaksa melacur di Tanjung Balai,"
kata Rina, getir. Simak pula pengalaman pahit Rani (nama samaran),
lulusan SMU berusia 18 tahun. Rani mengaku dua bulan dijadikan budak
seks, juga di Diskotek Golden Million, milik Kioe Moi alias Merry,
wanita berusia 42 tahun yang disebut-sebut sebagai germo paling beken di
Tanjung Balai. "Saya tidak tahan, sudah lama ingin kabur, tapi tidak
berani. Untunglah, polisi menyelamatkan kami," kata Rani.
Yang
menarik, dan mungkin jarang terjadi, upaya penyelamatan para budak seks
itu bukan lewat razia rutin, apalagi operasi biasa. Melainkan melalui
operasi khusus dengan nama sandi Operasi Kemanusiaan. Menurut Mayor
Jenderal Chairuddin Ismail, Kepala Polda Jawa Barat, pihaknya memandang
perlu membentuk tim operasi tersebut guna menyelamatkan para pekerja
seks di Tanjung Balai, khususnya yang berasal dari wilayah Jawa Barat.
"Dalam operasi, kita melakukan koordinasi dengan Polda Riau," kata
Chairuddin Ismail kepada Gatra.
Mirip
dengan lakon film laga tentang pembebasan sandera, ihwal dibentuknya
tim operasi penyelamatan itu bermula dari pelarian 13 ABG asal Jawa
Barat dari tempat penampungannya di Salon Lucky Seven di kawasan
Puakang, akhir Agustus silam. Dengan cara mengendap-endap, pagi itu
mereka cabut selagi "mami" mereka masih pulas. "Kami dijanjikan kerja
sebagai pelayan di bar dan restoran. Tapi sampai di Karimun kami disuruh
jadi wanita tunasusila," kata Ida (namasamaran), 16 tahun.
Semula,
dengan naik becak, Ida dan teman-temannya hendak langsung ke pelabuhan
feri, tapi urung. Maklum, pelabuhan itu, yang merupakan satu-satunya
jalan keluar, selalu dijaga para tukang kepruk dari pelbagai tempat
hiburan di situ. Lantas, ke- 13 ABG yang baru tiba beberapa hari dari
Jawa Barat itu berinisiatif meminta perlindungan ke Kantor Kepolisian
Sektor (Polsek), 50
Oleh
petugas polisi, yang ternyata baik hati, mereka diantar ke Dumai, Riau,
dan disuruh melanjutkan perjalanan dengan bus ke Bandung. Setiba mereka
di Bandung, kisah pilu mereka dimuat di harian lokal Gala, edisi 7
September. Polda Jawa Barat agaknya cukup sigap merespons berita
tersebut, dan mulai melakukan penyelidikan. Para ABG itu dimintai
keterangan.
Tak
makan waktu lama, polisi mengantongi nama Prajurit Satu Fernando
Sebayang, oknum prajurit di sebuah kesatuan di Bandung, serta mitranya
bernama Frans Felix Hutagalung, seorang wiraswastawan. Menurut polisi,
keduanya adalah agen atau penghubung di Bandung, yang berhubungan
langsung dengan para germo di Tanjung Balai. "Mereka punya kaki tangan
yang langsung mencari mangsa. Tapi tidak jarang mereka juga berperan
langsung mencari mangsa," kata Kolonel Makbul Padmanagara, Kepala
Direktorat Reserse Polda Jawa Barat.
Polisi
menciduk pasangan suami-istri Egi dan Iis, yang diduga sebagai calo.
Menurut polisi, keduanya adalah anak buah Frans yang bertugas door to
door menjaring cewek-cewek calon mangsa. Pada 9 September, polisi
menangkap Tong Meng alias Ameng, 30 tahun, pemilik Lucky Seven. Ameng,
yang sengaja dipancing ke Bandung, dicokok di Bandara Husein
Sastranegara.
Dari
keterangan para tersangka dan 13 ABG itu, polisi menyimpulkan bahwa
banyak lagi cewek asal Jawa Barat yang disekap dan dipekerjakan sebagai
budak seks di Tanjung Balai. Tim Operasi Kemanusiaan pun dibentuk, dan
sebagai komandannya ditunjuk Letnan Kolonel Wahyu Siswaya, Kepala Bagian
Reserse Umum.
Tim
ini punya dua target operasi. Pertama, menyelamatkan sebanyak mungkin
gadis asal Jawa Barat yang tertipu dan dijadikan budak seks di Tanjung
Balai. Kedua, menangkap empat tersangka otak sindikat pelacuran itu,
yakni Merry dan Wati (pengelola Golden Million), Nelson Surbakti
(pengelola permukiman Villa Garden), dan Hendrik (pengelola Lucky
Seven).
Tim
berjumlah enam polisi ini segera bertolak dari Bandung, dan tiba di
Batam pukul 18.00. Mereka melakukan koordinasi dengan Kepala Polres
Batam, Letnan Kolonel Yose Rizal. Menurut Kepala Dinas Penerangan Polda
Riau, Mayor S. Pandiangan, penggerebekan dilakukan Polda Jawa Barat
karena penipuan terhadap para gadis itu dilakukan di Jawa Barat.
"Penggerebekan itu kita dukung," kata Pandiangan.
Besok
paginya, tim operasi ini bergerak ke Tanjung Balai, menempuh dua jam
perjalanan dengan speed boat dari Pelabuhan Sekupang, Batam. Mereka
menuju Polsek Tanjung Balai yang dijadikan sebagai markas operasi. Di
situ telah berkumpul sejumlah petugas keamanan dan pejabat dari
kecamatan, yang kelihatan antusias mendukung tim tersebut.
Operasi
pun digelar pukul 12.00, setelah melakukan observasi lapangan terhadap
ketiga tempat hiburan yang letaknya tidak terlalu berjauhan tersebut.
Tim yang diperkuat petugas Polsek berpakaian dinas, sehingga semuanya
berjumlah 21 orang, itu dipecah menjadi tiga. Tim pertama yang dipimpin
Letnan Kolonel Wahyu Siswaya bergerak ke Golden Million, diskotek
terbesar di sana,
yang
diperkirakan memeram 200-an pekerja seks -di sana terdapat belasan
tempat hiburan yang mempekerjakan 2.000-an pramusyahwat. Tim kedua yang
dipimpin Letnan Satu Zul Asmi berangkat ke Lucky Seven. Sedangkan tim
ketiga yang dipimpin Kapten Muklis menuju Villa Garden. Ketiga tim ini
di-back-up sejumlah petugas keamanan.
Waktu
siang bolong ini sengaja dipilih dengan pertimbangan bahwa tamu belum
terlalu banyak. Para tamu biasanya datang lebih sore atau malam hari.
Tim bergerak menuju target operasi dengan menggunakan Toyota Kijang dan
Isuzu Panther. Khusus tim yang ke Golden Million dibekali dengan tujuh
Toyota Kijang. Tim ini sudah memperhitungkan, akan menyelamatkan paling
banyak cewek.
Toh,
setiba di Golden Million, tim ini tak urung kaget juga. "Busyet,
cewek-ceweknya banyak banget," kata seorang anggota tim. Para cewek itu
dipajang di ruang pamer dari kaca, mirip akuarium raksasa yang
memanjang. Mereka duduk di atas bangku panjang yang dilapisi dengan
karpet. Siang itu, ruangan pengap yang hanya disejukkan dengan kipas
angin di plafon tersebut berisi 175 cewek yang siap menerima tamu. Para
cewek itu diberi nomor dada, untuk memudahkan tamu memilih. Sejumlah
mami berjaga-jaga di situ.
Seorang
mami dan papi di situ dengan ramah menemui Wahyu, yang mereka kira
sebagai lelaki iseng. Tanpa buang waktu, Wahyu segera menyampaikan
maksud kedatangannya seraya menunjukkan surat tugas. Mami dan papi itu
mundur ketakutan, dan menyebutkan bahwa Merry dan Wati sedang ke
Jakarta. Seorang encim, kabarnya ibu Merry, mencoba menghalangi Wahyu
dan anak buahnya. "Anak-anak ini tidak boleh dibawa pulang. Mereka punya
utang pada kami," teriak perempuan gaek tersebut.
Wahyu
mengatakan, urusan utang diselesaikan di kantor polisi saja. Ia
kemudian menuju ruang kaca. "Saudara-saudara, saya adalah petugas polisi
yang sedang melakukan Operasi Kemanusiaan. Bagi Saudara-saudara yang
merasa tertipu, yang merasa pekerjaan ini bertentangan dengan hati
nurani, mari ikut pulang dengan saya," kata Wahyu, lantang.
Suasana
di diskotek itu kontan riuh. Para cewek di ruang kaca itu
berteriak-teriak histeris. "Kita pulang, kita pulang," teriak mereka.
Ada yang berjingkrak kegirangan, ada pula yang menangis meraung-raung.
Tapi tidak sedikit yang terpaku di tempat, seakan tidak percaya akan apa
yang terjadi. Puluhan gadis yang berdandan dan berpakaian seronok itu
lantas menyerbu Wahyu, memelukinya sambil merengek, "Saya ikut pulang.
Saya mau pulang." Wahyu sempat gelagapan. Sementara itu, anggota timnya
bersiaga, kalau-kalau ada yang melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu
sekitar 175 pekerja seks diminta menjadi dua kelompok. Yang mau ikut
pulang ke Jawa Barat diminta berkumpul di sebelah kanan. Sedangkan yang
masih betah di sebelah kiri. Cewek di bawah umur tetap akan diboyong,
tak peduli masih betah atau tidak. Tercatat, 107 cewek berdiri di
kelompok kanan. Tapi cewek-cewek yang di kelompok kiri bukannya tak mau
pulang, melainkan lantaran bukan berasal dari Jawa Barat. Cewek-cewek
ini sempat protes. "Mana polisi Medan, kami juga mau pulang," teriak
mereka yang berasal dari Medan.
Sementara
itu, tim kedua dan ketiga juga telah menyelesaikan tugasnya. Hasilnya,
cuma memboyong seorang gadis dari Villa Garden. Dari Lucky Seven, polisi
tidak memperoleh apa-apa karena tempat itu sudah kosong. Semua cewek
hasil operasi penyelamatan itu diboyong ke Polsek, sebelum dibawa ke
Bandung. Jumlah cewek yang dikumpulkan di Polsek menjadi 115 orang -
tujuh di antaranya hasil penggerebekan di hotel-hotel, termasuk di Hotel
Marina, juga milik Merry.
Selama
istirahat di Polsek, sejumlah tamu, diduga orang-orang Golden Million,
silih berganti membesuk para cewek tersebut, sekalian membujuk agar tak
pulang ke Jawa Barat. Dua di antara cewek itu bisa dibujuk. Sementara
itu, Wahyu sempat menerima telepon dari seseorang yang mengaku
berpangkat mayor jenderal. "Orang itu memprotes penggerebekan dan
penjemputan ini. Tapi saya tidak gentar," kata Wahyu.
Besok
paginya, para cewek itu diboyong ke Bandung, dilepas Letnan Kolonel
Yose Rizal. Meski tidak ada upacara resmi, suasana pelepasan itu cukup
ramai. Puluhan penduduk bergerombol menyaksikan pemberangkatan mereka
-menggunakan speed boat, disambung dengan tiga bus- ke Bandung. Beberapa
pemuda malah berteriak menggoda: "Sudah, sana pulang, sekolah sajalah.
Kenapa cari susah di sini."
Berita
penggerebekan sekaligus penyelamatan pekerja seks di Golden Million ini
sempat menghebohkan Tanjung Balai dan Batam, bahkan Pekanbaru. Maklum,
pemilik tempat hiburan itu, Merry, selama ini dikenal berangasan. Cina
Medan itu malah disebut- sebut punya beking kuat. Beberapa kali ia
berurusan dengan polisi lantaran tuduhan mempekerjapaksakan perempuan
sebagai pelacur. Namun, ia masih saja berlenggang kangkung. Usaha
prostitusinya malah kian berkembang.
Itulah
sebabnya, ketika tim Operasi Kemanusiaan yang dikirim Polda Jawa Barat
meraih sukses tanpa kesulitan sama sekali, banyak pihak terkejut. Mereka
umumnya takjub karena operasi itu berjalan lancar, tanpa aksi
kekerasan, apalagi sampai diwarnai dengan dar-der-dor. "Syukurlah,
polisi akhirnya berani juga bertindak. Saya salut dengan operasi yang
dilancarkan Polda Jawa Barat tersebut," kata Bustami, pemuka masyarakat
Tanjung Balai Karimun. Bustami berharap, kalaupun pelacuran di situ
tidak bisa ditekan, setidaknya unsur pemaksaan dan penyekapan wanita
bisa dikurangi.
Wakil
Gubernur Riau, Rustam S. Abrus, setuju dengan Operasi Kemanusiaan Polda
Jawa Barat tersebut. "Saya sangat mendukung tindakan Polda Jawa Barat
dan Polda Riau itu. Tindakan pemaksaan (terhadap para cewek itu) untuk
menjadi pelayan seks merupakan perbuatan sangat tidak terpuji. Perlu
dicegah oleh semua pihak," kata Rustam S. Abrus kepada Fendri Jaswir
dari Gatra.
Kalau
disimak hasil penyelidikan dan penyidikan pihak Polda Jawa Barat,
sistem kerja di Golden Million yang ditimpakan kepada para cewek apes
itu memang tidak manusiawi, sewenang- wenang, penuh tipu daya. "Sejak
awal perekrutan, para perempuan itu sudah dikecoh secara licik," kata
Makbul Padmanagara.
Menurut
Makbul, dalam merekrut mangsa, kaki tangan (calo dan koordinator)
Golden Million menggunakan tiga cara. Pertama, memasang iklan di koran
lokal, bahwa dibutuhkan sejumlah perempuan untuk dipekerjakan di
restoran dan tempat hiburan karaoke di Batam. Tak lupa, mereka
diiming-imingi gaji tinggi. Cara kedua, datang langsung ke tempat-tempat
mangkal gadis belia. Dan cara ketiga, dengan door to door berdasarkan
informasi dari mulut ke mulut. Cara-cara itu terbukti efektif. Para
calon korban itu dengan mudah terkecoh.
Untuk
setiap "barang" alias cewek yang berhasil dibawa, si calo mendapat
imbalan Rp 600.000 sampai Rp 900.000 dari koordinator perekrutan atau
kaki tangan langsung Golden Million. Besar imbalan ini tergantung
kecantikan si cewek. Bonus tambahan, beberapa ratus ribu rupiah, akan
diberikan bila si perempuan itu masih perawan tulen. Dari Golden
Million, koordinator itu akan memetik keuntungan rata-rata Rp 600.000
per cewek. "Kepada cewek itu saya bilang terus terang bahwa pekerjaan
mereka melayani tamu lelaki. Saya tahu dan tidak peduli, apakah ia
tadinya dibohongi calo atau tidak," kata Ameng kepada Gatra.
Oleh
Golden Million, semua biaya tebusan itu, berikut ongkos di perjalanan
dan tiket ke Batam, dibebankan kepada si cewek. Setiba di Golden
Million, mereka biasanya langsung kaget ketika disodori bon utang.
Besarnya Rp 2 juta sampai Rp 3 juta. Si cewek pun diikat dengan kontrak
kerja, yang berlaku selama empat bulan. Dalam kontrak itu antara lain
disebutkan, setelah bekerja
empat bulan, dan mampu melunasi utangnya, pekerja boleh pulang atau memperpanjang kontrak kerja.
Apa
boleh buat, untuk biaya hidup sehari-hari dan melunasi utangnya, di
samping lantaran takut dihajar tukang pukul majikan barunya, terpaksalah
para ABG ini menerima pekerjaan nista tersebut. Setiap kali melayani
tamu -umumnya lelaki Cina tua dari Singapura dan Malaysia- teorinya si
cewek mendapat bagian Rp 70.000 dari Rp 150.000 yang dibayarkan tamu
kepada Golden Million.
Logikanya,
mengingat bisa melayani lebih dari satu tamu sehari, kemungkinan mereka
bisa mengumpulkan uang guna melunasi utang. Kenyataannya, para
perempuan muda itu akan terus terikat kontrak kerja lantaran sengaja
dibikin tak mampu membayar utang. Soalnya, bagian si cewek itu bukan
diberikan secara tunai, melainkan berwujud kupon yang tak jelas kapan
bisa dicairkan.
Kalau
si cewek kelihatan cukup lihai merayu tamunya dan memperoleh tip cukup
besar, biasanya dia akan diistirahatkan dulu. Akibatnya, si cewek akan
terus kekurangan uang, dan terpaksa mengutang pada Golden Million.
"Sampai sekarang, saya dinyatakan (oleh Golden Million) masih punya
utang, katanya sampai Rp 4 juta," ujar Rani.
Merry
menolak dituduh bersikap licik. Mengenai sitem kupon, kata Merry,
dimaksudkan agar para anak asuhnya itu dapat berhemat dan terkontrol
penggunaan uangnya. Soal "mengistirahatkan" si cewek, lagi-lagi Merry
membantah. "Saya tidak pernah membatasi mereka melayani tamu. Kalau itu
saya lakukan, saya juga yang rugi, tidak dapat bagian," kata Merry
kepada Gatra. Sejak penggerebekan itu, Merry yang masuk DPO (daftar
pencarian orang) Polda Jawa Barat menutup sementara usahanya tersebut.
Yang
tidak dibantah Merry adalah bahwa Golden Million menyediakan cewek
paling banyak di antara usaha sejenis di Tanjung Balai Karimun, dan
paling laris. Maklum, cewek-cewek yang diperam di situ rata-rata muda
dan cantik. Tidak mengherankan, sebelum ini, saban hari puluhan tamu
berkunjung ke Golden Million. Mereka dengan riang mem-booking para
wanita belia itu, terutama yang masih bau kencur. "Mereka lebih menyukai
yang muda banget. Katanya, kami tidak banyak tingkah," kata Ane, 15
tahun, bekas penghuni Golden Million.
Menurut
pakar seksologi Boyke Dian Nugraha, fenomena disukainya gadis kencur
oleh para lelaki bertumpu pada dua faktor utama. Pertama, adanya mitos
soal awet muda. Kedua, di mata si lelaki, penampilan gadis kencur lebih
segar, kulitnya lebih mulus dan kencang. Semua itu membuat mereka
beranggapan bahwa para gadis ingusan tersebut lebih bersih dan
menggairahkan.
Dan
yang terpenting, menurut Boyke, para gadis muda itu umumnya tidak
banyak mengeluh atau peduli bila om-om yang mengencaninya mengalami
kelemahan seksual, ataupun berbuat macam-macam. "Para penggemar daun
muda itu merasa lebih aman karena tidak mendapat celaan. Mereka senang
karena merasa superioritasnya tidak terusik," kata Boyke, yang juga
dokter ahli ginekologi, kepada Gatra.
Menurut
Boyke pula, fenomena itu sudah terjadi sejak zaman dulu, dan akan terus
berlangsung ke masa depan. Maka bukan hal mengejutkan bila pelacuran
gadis kencur diam-diam cukup marak dan bersaing dengan pelacuran wanita
dewasa. Di Medan saja, misalnya, menurut temuan Lembaga Advokasi Anak
Indonesia (LAAI) setempat, terdapat 600-700 anak berusia 12 tahun sampai
17
tahun
yang terjerembap menjadi pelacur, umumnya dengan alasan ekonomi. Mereka
rata-rata cukup eksis, dalam arti mampu bersaing (dengan pelacur
dewasa) untuk mencari pelanggan.
LAAI
Medan mensinyalir, pelacuran anak di kota-kota lain di Tanah Air tak
kalah marak dengan di Medan. Kemampuan si anak menarik pelanggan membuat
para calo dan sindikat pelacuran itu tak henti mengincar para gadis
kencur untuk dieksploitasi sebagai tambang rupiah. Aksi eksploitasi ini
sepertinya dipermulus oleh penerapan hukum yang lemah. Coba tengok, para
pelakunya sering
cuma dihukum ringan, bahkan tidak jarang luput dari jerat hukum.
Sebut,
misalnya, kasus germo beken Hartono "Prapanca" Setyawan, yang tahun
lalu kepergok polisi mempekerjakan bocah ingusan di rumah bordilnya di
Surabaya, kini seperti menguap begitu saja. Kasus Merry pun -tak
mustahil- bakal bernasib serupa. Sampai pekan lalu, Merry masih bebas
berkeliaran. Dan polisi sepertinya masih setengah hati menangkapnya.
LAAI
Medan mensinyalir, pelacuran anak di kota-kota lain di Tanah Air tak
kalah marak dengan di Medan. Kemampuan si anak menarik pelanggan membuat
para calo dan sindikat pelacuran itu tak henti mengincar para gadis
kencur untuk dieksploitasi sebagai tambang rupiah. Aksi eksploitasi ini
sepertinya dipermulus oleh penerapan hukum yang lemah. Coba tengok, para
pelakunya sering
cuma dihukum ringan, bahkan tidak jarang luput dari jerat hukum.
Sebut,
misalnya, kasus germo beken Hartono "Prapanca" Setyawan, yang tahun
lalu kepergok polisi mempekerjakan bocah ingusan di rumah bordilnya di
Surabaya, kini seperti menguap begitu saja. Kasus Merry pun -tak
mustahil- bakal bernasib serupa. Sampai pekan lalu, Merry masih bebas
berkeliaran. Dan polisi sepertinya masih setengah hati menangkapnya.
Karena
itulah, menurut aktivis perempuan, Nursyahbani Katjasungkana,
terbongkarnya sindikat penjualan wanita dan gadis ABG di Tanjung Balai
Karimun ini tidak usah terlalu diharapkan bakal meredam aksi
sindikat-sindikat tersebut. "Penanganan dan sanksi hukumnya masih sangat
lemah. Kalaupun tertangkap, mereka acap tidak diberi hukuman setimpal,"
kata Ketua Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan itu.
Mudah-mudahan,
di era reformasi ini para penegak hukum bisa bersikap lebih
tegas. [Taufik Alwie, Didi Prambadi, dan Taufik Abriansyah] Sumber :
Gatra(dot)com